SETIAP ANGKA PADA DATA ADALAH MATA UANG

Pengertian data sangatlah luas karena segala hal yang bersifat informatif bisa disebut dengan data. Data adalah sesuatu yang belum mempunyai arti bagi penerimanya dan masih memerlukan adanya suatu pengolahan. Data bisa berujut suatu keadaan, gambar, suara, huruf, angka, matematika, bahasa ataupun simbol-simbol lainnya yang bisa kita gunakan sebagai bahan untuk melihat lingkungan, obyek, kejadian ataupun suatu konsep.

seperti yang kita ketahui bahwa informasi dari data yang diterima akan di analisa menjadi sesuatu yang penting dalam pengambilan suatu keputusan, baik keputusan jangka pendek maupun jangka panjang. keputusan tersebut akan mempengaruhi hasil akhir sesuai dengan VISI dan MISI individu maupun organisasi.

Keberhasilan pengumpulan data harus didukung oleh manajemen yang tepat. Pihak manajemen harus menyadari bahwa pengumpulan data yang salah akan membuat keputusan yang salah pula. Hal pertama yang harus dilakukan dalam menentukan kebutuhan data adalah mengidentifikasi data yang diperlukan oleh pembuat keputusan. Kemudian mengumpulkannya dan menganalisisnya.  Ada 7 (tujuh) prinsip yang umumnya digunakan untuk mendapatkan data yang bermutu, yaitu:

  1. Fokus
  2. Objektif (Data tidak ditambah atau dikurangi)
  3. Teliti (Tidak ada data yang salah lihat atau salah catat)
  4. Cross check
  5. Data mutakhir (Sedapat mungkin menggunakan data yang mutakhir bukan data yang sudah kadaluarsa)
  6. Lengkap
  7. Instrumen pengumpul data valid dan reliebel (surveyor dapat dipercaya)

Dalam mengumpulkan data, pihak pengumpul data harus memperhatikan hal-hal berikut:

  1. Keakuratan data
  2. Kualitas data
  3. Relevansi data
  4. Kemutakhiran data
  5. Sumber data

Data yang bermutu dapat disingkat 8c, yaitu:

  1. Complete = Harus lengkap tidak ada yang tertinggal
  2. Clear = Jelas, tidak samar-samar, tidak menimbulkan macam-macam interpretasi
  3. Courtesy = Menyebutkan darimana sumbernya
  4. Correct = Apa adanya, tidak ditambahi dan tidak dikurangi
  5. Comprehensive = Menyeluruh
  6. Cross check = Kebenaran data didukung hasil cross check
  7. Consistent = Data yang dikumpulkan ajek atau taat asas, tidak ada yang bertentangan
  8. Credibility = Dapat dipercaya (valid dan reliable)

Metode pengumpulan data yang berbeda akan menghasilkan informasi yang berbeda dan pengertian yang berbeda pula. Pada saat manajer program mulai memilih metode pengumpulan data, harus diingat adanya trade-off dengan metode pengumpulan data dari tipe yang berbeda. Setiap metode yang berbeda akan mengakibatkan bias, cost, response rate, speed, level of detail, validity, realibility dan memiliki kegunaan bervariasi.

Ada 10 (sepuluh) metode pengumpulan data yang biasa digunakan:

  1. Metode dokumentasi → Diperoleh melalui dokumen-dokumen
  2. Observasi partisipasi → Melalui pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala yang diteliti
  3. Wawancara → Tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung.
  4. Angket → Berupa pertanyaan atau pernyataan tertulis untuk diisi responden.
  5. Penilaian berpasangan oleh ahli → Biasanya dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian dan pengembangannya
  6. Cost benefit/cost effectiveness study → Dilakukan untuk mengevaluasi biaya program bersama dengan keuntungan yang dicapai (cost benefit) dan pembanding keuntungannya (cost effectiveness)
  7. Studi kasus → Menggunakan deskripsi dan analisis atas situasi tertentu
  8. Content review → Mengarah pada kodifikasi dan analisis data kualitatif
  9. File review → Pengkajian ulang terhadap data yang telah dikumpulkan
  10. Focus group → Mengumpulkan informasi yang mendalam secara tepat dan umumnya melibatkan pihak ketiga

 

Contoh Implementasi:

PT XXX merupakan perusahaan di bidang distribusi rokok. dalam menjalankan perusahaan manajemen menggunakan data Internal dan eksternal. .. to be continuous

Saat “Who you know” lebih baik dari pada “What you know”

Pada awalnya, saya senang meminta nasehat secara langsung kepada atasan saya, namun beliau Cuma memberikan nasehat secara umum dan tidak dapat saya mengerti secara teknisnya. Mungkin tulisan berikut merupakan maksud beliau …

Apa yang pertama kali terlintas dalam pikiran ketika mendengar istilah politik kantor? Hampir pasti konotasinya kotor. Fenomena politicking adalah fakta dalam dunia kerja, namun sekolah tidak mengajarkan bagaimana menghadapinya di dunia kerja. Tidak jarang Karyawan yang berprestasi gemilang dan pekerja keras menjadi tidak bersemangat setelah menyaksikan bonus, jabatan dan kenaikan gaji diberikan kepada rekan kerja yang hanya pandai cari muka depan boss.

Collins English Dictionary mendefinisikan politik kantor (office politics) sebagai berikut:

“The ways that power is shared in an organization or workplace, and the ways that it is affected by the personal relationships between the people who work there”

Politik kantor adalah cara-cara kekuasaan dibagi dalam suatu organisasi atau lingkungan kerja, dan cara-cara tersebut dipengaruhi oleh relasi pribadi antara orang-orang yang bekerja disana.

Tidak ada kata yang berbau negatif menurut definisi diatas. Kaitan relasi antar individu dengan pengaruh/kekuasaan adalah hal yang lumrah. Dalam sebagian budaya kerja, “who you know” lebih penting dari “what you know”. Contohnya, di China bukan rahasia umum bila ingin sukses berbisnis atau maju dalam karir harus ada ‘Guanxi’ (terjemahan harafiah: koneksi) yang bikin bingung orang Barat karena sekilas mirip dengan nepotisme. Sedangkan di Indonesia konon harus pintar ber-ABS (Asal Bapak Senang) bila ingin maju.

Lumrah dalam budaya kerja yang bersangkutan, “kotor” dalam budaya kerja lain.

Fenomena Guanxi dan ABS  tentu juga ada dalam budaya kerja Barat, hanya kadarnya saja yang berbeda dan jauh lebih halus. Dari pengamatan pribadi yang bekerja di Sydney, orang Barat cenderung bersikap politically correct mengingat perangkat hukum ketenaga kerjaan yang cukup ketat.

Fenomena politik kantor sangat menarik untuk disimak, ibarat menonton teater dengan kantor sebagai latar belakang panggung. Dalam teater politik kantor Kita adalah pemain sekaligus penonton.

Sebagai pemain kita harus pandai mengikuti arus demi kemajuan pribadi tanpa mengorbankan prinsip hidup, menghalalkan segala cara demi karir yang fana. Sebagai penonton kita dituntut untuk belajar melihat realitas, mengidentifikasi motivasi para pemain sejelas-jelasnya tanpa mengelabui diri sendiri (mendengar hanya yang ingin didengar dan melihat hanya yang siap dilihat).

Abaikan fenomena politik kantor maka lambat laun depresi akan menghajar, semangat kerja menurun, talenta/potensi diri tersiakan. Mainkan dengan cerdas maka kita akan jauh lebih tenang, tidak mudah terpancing emosi, belajar mengatasi conflict of interest sekaligus memajukan karir kita.

Tulisan ini hanya berbagi pemikiran seputar politik kantor dan menggali cara memajukan karir apabila terjebak dalam lingkungan politik kantor yang kotor. Ambil saja yang berguna dan sesuaikan dengan kondisi kerja masing-masing.

Sumber Politik Kantor

Sedikitnya ada 5 faktor penyebab utama politik kantor.

Pertama, terbatasnya sumber daya perusahaan yang menjadi bahan perebutan seperti kenaikan gaji, promosi dsb. Semakin tinggi jabatan/gaji yang menjadi bahan rebutan semakin sengit perhelatan politik kantor, cermin atas kelangkaan sumber daya perusahaan. Kedua, setiap karyawan (pemain) memiliki agenda sendiri yang sering kali bertabrakan dengan agenda pemain lainnya dalam drama politik kantor. Ketiga, rendahnya tingkat kepercayaan (trust) bahwa para pemain dalam perusahaan bermain secara fair dalam memperebutkan jabatan, kenaikan gaji, intermediasi konflik internal dsb.

Keempat, karena manusia adalah makhluk sosial dan tidak bisa sepenuhnya bersih dari efek ‘chemistry’ ketika dituntut menilai seorang karyawan secara objektif murni dari prestasi kerja. Dalam sosial setting, efek ‘chemistry’ membantu menilai apakah kita akan cocok dengan calon pasangan, sobat dekat dan teman kumpul. Tapi setting dalam dunia kerja berbeda. Dunia kerja memiliki barometer penilaian berbeda berdasarkan meritokrasi dan profesionalisme. Mereka yang luwes memainkan politik kantor tahu cara mengeksploitasi efek ‘chemistry’ untuk memajukan agenda pribadi tanpa diiringi prestasi kerja yang konkret.

Kelima, baik buruknya kinerja karyawan sering kali bersifat relatif. Simak saja reality TV series The Apprentice besutan Mark Burnett dan Donald Trump. Dua grup kontestan bersaing satu sama lain menjalani berbagai proyek bisnis hingga akhirnya keluar satu pemenang melalui proses eliminasi, The Apprentice, kontestan yang berhasil magang bareng Mr. Trump. Kita tidak bisa melihat lebih gamblang lagi office politic dalam boardroom. Kontestan yang tidak kompeten bersilat lidah mempertahankan diri dari berbagai tuduhan, malah kalau bisa balik menuduh. Project manager tim yang kalah berusaha menunjukkan wibawa, kesan tetap bertanggung jawab tapi tidak cukup fatal untuk terkena eliminasi. Mereka yang tidak kompeten namun pandai bersilat lidah mampu terus maju ke proyek berikutnya selama ada kandidat lain yang lebih lemah atau dibuat terlihat tidak kompeten. Memang mirip sirkus, tapi itulah versi telanjang politik kantor sesungguhnya.

Bermain Politik Kantor Tanpa Kotor

Dilihat dari 5 sumber diatas, bisa disimpulkan bahwa persepsi memegang peranan penting. Seperti layaknya panggung politik nasional, bila kita tidak secara aktif membangun citra sendiri, lawan politik yang akan membentuk citra kita  dimata publik (if you don’t define yourselves, your enemies will define you).

Tidak ada rumus pasti dalam menghadapi politik kantor, namun beberapa langkah dibawah mudah-mudahan dapat menetralisir serangan kotor pemain lain.

Mengenal Boss Tipe Simbolis Vs Pelayan

Atasan kita belum tentu pemain yang paling berpengaruh dalam lingkungan kerja. Secara umum ada 2 macam tipe boss: Simbolis dan Pelayan. Boss tipe Simbolis biasa mendapat jabatannya karena sistem promosi jabatan yang berdasarkan lama jabatan (senioritas) meskipun tidak ada prestasi gemilang yang signifikan, tidak memiliki kemampuan memimpin yang mumpuni atau karena dia anak/saudara/teman baik boss besar. Tipe boss ini biasa rentan dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh bawahannya karena dia sendiri kurang menguasai pekerjaannya, lebih suka terima laporan, dan memiliki ketergantungan berlebihan kepada anak buahnya. Bila terjadi kesalahan/diminta pertanggung jawabannya oleh boss besar hanya bisa menyalahkan pihak lain atau ngeles.

Sedangkan boss tipe Pelayan menjabat memang karena layak, memiliki kemampuan memimpin, menguasai bidang pekerjaan dan dihormati oleh bawahannya. Boss tipe Simbolis menggunakan rasa takut berdasarkan otoritas/titel untuk memengaruhi pemain lain, sedangkan boss tipe Pelayan menggunakan rasa hormat yang didasarkan pada keahlian, prestasi kerja dan pendekatan simpatik pada pemain (bawahan maupun atasan) untuk bekerja sama.

Bila mendapat tipe boss Pelayan, bersyukurlah karena politik kantor cenderung lebih bersih, tingkat kepercayaan dalam tim tinggi (lihat faktor no.3) karena biasa mereka lebih tertarik dengan prestasi kerja daripada politicking. Mereka melihat diri mereka sebagai Pelayan bagi masyarakat yang dilayani perusahaan, bawahan maupun atasan.

Bila ternyata boss kita tipe Simbolis, maka saatnya kita membangun sekutu dengan orang-orang sekitar yang dapat mempengaruhi si boss secara langsung maupun tidak langsung. Tipe Simbolis dan Pelayan juga berlaku untuk mengidentifikasi rekan-rekan kerja.

Membangun Sekutu = Prestasi Kerja + Kepribadian Supel

Insting pertama dalam bersekutu di lingkungan kerja adalah dengan rekan kerja yang bisa menjadi sahabat baik diluar kantor. Hal itu sah-sah saja.  Namun dalam konteks politik kantor yang kotor , ada baiknya kita merenungkan doa filsuf asal Prancis, Voltaire (1694 – 1778), yang berbunyi:  “Lord, protect me from my friends; I can take care of my enemies” – Tuhan, lindungilah aku dari teman-temanku, aku dapat melindungi diri dari musuh-musuhku.

Doa Voltaire mengingatkan kita pada adagium dunia politik bahwa tidak ada yang namanya teman abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Tidak ada yang bisa menjamin teman akrab tidak akan berubah menikam dari belakang bila ada kesempatan. Untuk melindungi diri dari budaya kantor yang kotor, kita perlu berpikir lebih strategis dalam membangun sekutu.

Seseorang dapat menjadi sekutu yang baik bila kita dapat menciptakan kondisi saling membutuhkan. Disinilah kita harus bertanya pada diri sendiri: “apa yang dia butuh dan bisa saya berikan?” (appeal to their self-interest).

Setelah mengidentifikasi yang mereka butuh, lanjutkan dengan prestasi kerja yang memuaskan. Sejauh pengamatan, tidak ada yang benar-benar bisa menggantikan prestasi kerja yang memuaskan dalam membangun sekutu. Ya, kepribadian supel memang penting. Tapi bila tidak diikuti prestasi kerja yang memuaskan hanya menjadikan kita sebagai penjilat.  Kepuasan ego calon sekutu terpenuhi dan bisa jadi mereka senang dengan kita. Tapi buat apa bersekutu dengan orang bodoh yang mudah dijilat dengan kata-kata manis?

Sebaliknya, memiliki prestasi kerja yang memuaskan tapi tidak barengi kepribadian yang pas menjadikan kita rentan hanya sekedar dimanfaatkan, mudah digantikan karena tidak adanya ikatan emosional yang berarti.

Gabungan kepribadian menyenangkan dan prestasi kerja memuaskan bagaikan magnet penarik sekutu. Teman menjadi segan dan lawan politik yang ingin menusuk dari belakang harus berpikir berkali-kali bila ingin menjatuhkan pemain populer seperti ini di depan umum. Seandainya berhasil disingkirkanpun, mereka akan menghadapi dilema kehilangan pemain kompeten dalam tim.

Tangkis Kesalahan Dengan Humor Bila Perlu

Berbuat kesalahan dalam kerja itu lumrah, namun lawan politik sejati tidak akan melewatkan kesempatan ini menjatuhkan kita. Bila kita minta maaf bisa malah dituduh mengakui kesalahan. Ini pernah terjadi pada saya ketika melakukan kesalahan kepada departemen lain dan supervisor tidak senang ketika tahu saya minta maaf pada mereka. Alasannya, hal itu hanya membuat departemen kita terlihat jelek, hasil kerja kita tidak bisa dipercaya dsb.

Maksudnya memang baik demi melindungi reputasi tim meskipun saya tidak percaya departemen lain memiliki niat buruk. Sejak itu bila terjadi kesalahan non-fatal yang tidak disengaja, saya respon dengan: “Cuma pengen tes kalau ternyata kamu perhatiin hahaha. Sini aku betulin sekarang”.

Bila keadaan memungkinkan, minta maaf sebagai respon awal menumbuhkan kepercayaan dan menunjukkan itikad baik. Namun dalam lingkungan kerja yang suka saling tuding, lempar kesalahan, bersilat lidah terkadang perlu hingga keadaan mendingin.

**********************

Konklusi: Bercermin dari The Apprentice dan Apple

Sebagai boss besar, Donald Trump tahu politicking pasti ada dalam kompetisi The Apprentice. Politicking menciptakan sensasi drama yang berguna untuk menaikkan rating jumlah penonton. Namun pada saat yang bersamaan, dia sadar kepentingan organisasinya akan terancam bila memilih Apprentice yang hanya pandai politicking. Pada akhirnya Trump selalu meng-golkan mereka yang terbukti kompeten dalam menjalani berbagai projek dalam kompetisi. Competency trumps politicking.

Apple mungkin salah satu perusahaan raksasa yang memiliki budaya kerja anti-politicking. Menurut Walter Isaacson (biographer Steve Jobs), pembawaan CEO baru Apple (Tim Cook) tenang dan tegas ketika memimpin namun tidak pernah berusaha mencari perhatian maupun pujian untuk dirinya sendiri. Ini hanya mungkin karena DNA budaya kerja meritokrasi yang digariskan oleh mendiang Jobs.

Jobs pembawaannya keras, bukan tipe boss yang bisa dijilat dan hanya mau dikelilingi orang-orang “A Player”.  Karyawan didorong mengeluarkan pendapat dan bebas berdebat sengit dengan bossnya sendiri demi memajukan perusahaan. Dalam budaya seperti ini, karir maju karena mampu.

Organisasi yang teracuni budaya politik kotor tingkat akut cenderung ditinggalkan oleh pegawai yang berprestasi. Buat apa kerja keras kalau pada akhirnya yang dapat promosi pegawai yang jago politicking.

Bila hengkang kaki tidak memungkinkan, mudah-mudahan langkah diatas sedikitnya bisa mengurangi imbas politik kotor. Tulisan ini tidak bermaksud ‘menggurui’. Saya yakin mereka yang berada di posisi manajer pasti ilmu politik kantornya lebih dalam.

SALAM ANTI-POLITIK KANTOR KOTOR

Blog at WordPress.com.

Up ↑